Inilah Kisah Orang Rote Datang Di Kupang


img-20200405-wa0045

Foto: Hendrik Roterdam Steak House

 

 
Yapi Manuleus

Kupang menjadi wilayah melting point, tempat bertemunya ragam suku, budaya, dan adat istiadat dari berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur bahkan dari berbagai provinsi di Indonesia.

Salah satu suku yang berkembang pesat di Kota Kupang adalah Rote.
Namun, tak banyak yang tahu perjalanan asal mula orang Rote datang merantau ke Kota Kupang.

Dr. Djakaria, Ketua Program Studi FKIP Sejarah Universitas Nusa Cendana Kupang saat ditemui VN dikediamannya diwilayah kelurahan Oebufu Kecamatan Oebobo kota Kupang, Sabtu 4 April lalu berkisah sekitar tahun 1657 Belanda sudah menduduki Pulau Timor yang bermarkas di wilayah kelurahan LLBK. Semua barang dan rempah-rempah dikumpulkan di benteng tersebut yang sekarang ini dipakai sebagai Benteng TNI.

Saat Belanda datang, ia membawa juga orang Solor karena mereka sudah bersahabat.

Namun, ketika sampai di Pulau Timor khususnya di Kota Kupang, ternyat oang-orang Portugis baik Portugis asli dan ada Portugis hitam sudah menduduki kota terlebih dahulu.

Dr. Djakaria
Dr. Djakaria

Selanjutnya orang-orang Solor ditempatkan Belanda di lokasi yang hingga kini dikenal dengan nama Kampung Solor di wilayah kelrahan Bonipoi untuk bisa menjaga benteng dan menjaga serbuan Portugis yang sudah berteman dengan Raja-raja Timor yang sesekali bisa menyerang Belanda.

Selanjutnya Belanda mendatangkan orang Sabu dan ditempatkan di sekitaran Benteng yang masuk wilayah Kelurahan Nunhila hingga Kelurahan Namosain sekarang, demi menjaga pertahanan Belanda saat itu.

Lalu ada orang Merdeka saat itu yang merupakan budak-budak yang dimerdekakan oleh Belanda dan ditempatkan di antara orang Sabu dan orang Solor yang sudah ditempatkan lebih dulu oleh Belanda yaitu di Oeleu yang sekarang disebut Kelurahan Merdeka.

“Jadi kalau ada orang Amarasi yang mau menyerang Belanda agak sulit karena sudah ada yang menjadi tameng untuk menjaga Belanda saat itu. Nah, di situ orang Rote belum ada,” jelasnya.

Dalam perjalanan, Kota Kupang mulai berkembang saat itu dan penduduk mulai bertambah banyak.

Namun, ada satu kesulitan yang dihadapi Belanda saat itu yaitu kurangnya bahan makanan. Hal ini terjadi karena pada saat musim barat, kapal tidak bisa masuk di Pelabuhan Kupang saat itu. Suplai bahan pangan dari pedalaman Timor tidak bisa diambil karena bermusuhan dengan Belanda. Jadi, sumber makanan selalu dikerjakan orang Helong di sekitar Kota Kupang ini. Meski tetap saja selama berbulan-bulan mengalami kesulitan.

Tahun 1810, setelah VOC bubar di Kota Kupang, maka diganti dengan Pemerintah Hindia Belanda dan dipimpin oleh Residen Hazard yang merupakan orang asli Belanda namun tinggal di Pulau Timor.

Residen Hazard sangat mahir berbahasa Timor. Saat ia berkuasa, serangan dari Amarasi dan Kauniki semakin gencar. Ia mulai berpikir bagaimana caranya untuk mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi Kota Kupang baik serangan maupun soal pangan.

Ia melihat banyak wilayah Kota Kupang yang datar dan cukup air sehingga bisa dijadikan daerah pertanian. Namum, orang Sabu, Solor, dan Timor belum terbiasa mengerjakan pertanian di lahan basah.

Hassard lalu memilih orang Rote untuk mengerjakan lahan pertanian.
Sayang, banyak orang Rote yang yak mau datang ke Kupang.

Saat itu, Belanda sering melakukan serangan ke daerah dan yang kalah perang di Rote orang-orangnya dipaksa datang ke Kupang.

“Tidak mau, mereka dibawa paksa. Ada sekitar ratusan orang, tujuannya untuk ditempatkan di daerah-daerah datar yang airnya banyak dan tempat itu juga milik pemerintah Belanda saat itu,” ujar Djakaria yang juga sudah banyak kali meneliti sejarah lokal di semua wilayah di Nusa Tenggara Timur tersebut.

Ia mengatakan, Belanda melarang orang Timor menduduki wilayah untuk orang Rote. Belanda menempatkan orang Rote mulai dari pantai Oepaha yang jaraknya 6 pal dari garis pantai terhitung dari ketika air surut. Dari pantai Oepaha terus mengitari Pantai Barat Pulau Timor yaitu Tablolong dan putar ke bagian utara Bolok serta Kota Kupang.

“Maka mulai dari kota Kupang, Lasiana, Tarus, Oesao, Pariti hingga ke Oekusi. Jadi daerah itu disebut daerah Jesparademit, berdasarkan Perjanjian Parafis tahun 1756
Hasard menempatkan orang Rote dan berkembang sampai sekarang,” kisahnya.

Orang Rote diperintahkan untuk membuka lahan-lahan pertanian
Saat itu sekitar enam ribu orang Rote hingga setengah dari penduduk Rote secara bergelombang datang ke kota Kupang. Sejak saat itu, bahan pangan Kota Kupang aman terkendali.

Orang Rote juga diajarkan untuk membuat senjata agar bisa mempertahankan diri dari serangan orang Timor pedalaman, yang ingin menyerang Belanda.

“Ketika orang Timor mau menyerang Belanda sudah lebih dulu dihadang oleh orang-orang Rote yang sudah ditempatkan tadi sehingga amanlah Belanda saat itu,” ungkapnya.

Sejarah awal Orang Rote datang menempati beberapa wilayah di Kota Kupang tersebut terbukti hingga kini, dimana wilayah tersebut masih banyak ditempatu orang Rote.

Salah satu tokoh orang Rote yang saat ini menjadi Ketua Program Studi FKIP Sejarah Universitas Persatuan Guru 1954 Melki Lalay, saat ditemui di kediamannya di Kelurahan Oesapa mengatakan saat itu orang Rote datang ke Kupang untuk membentuk daerah penyangga.

Menurutnya, dalam teori yang sudah tertuang dalam sumber buku karya James Fox tahun 1996 dengan judul Panen Lontar, Perubahan Ekologi dalam Kshidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu, tertulis proses masuknya orang Rote di Kupang.
Akibat kalah dalam perang Termanu, VOC semakin leluasa melakukan campur tangannya di Pulau Rote khususnya kerajaan Termanu.

Kerajaan Termanu dianggap sebagai sebuah kekuatan yang membahayakan eksistensi VOC di Pulau Rote. Karena itu kekuatan Termanu harus dikurangi.

Untuk memperlemah kerajaan Termanu pada tahun 1772 Keka dan Talae dipisahkan dari kerjaan induknya Termanu. Disamping wilayah kekuasaan Termanu dipersempit, jumlah penduduknya secara bertahap juga dikurangi.

Pada Masa Residen Hazard tahun 1819, sekitar 400 orang penduduk Ingufao dikirimkan secara paksa di Babau. Kemudian juga penduduk dari Hoiledo dikirim ke Pariti. Bahkan pada masa pemerintahan Raja Mauk Amalo, sebanyak 600 penduduknya juga dikirim secara paksa ke Babau.

Penduduk Termanu pada tahun 1863 ada 7.523 orang dan pada tahun 1921 turun menjadi 4.586 orang. Karena tidak disebut bantuan Belanda dalam pengangkutan orang-orang Rote ke Pulau Timor, maka pengangkutan itu hanya mungkin dilakukan dengan menggunakan perahu.

Proses perpindahan itu masih dilakukan dengan cara tradisional dengan menggunakan perahu sebagai alat transportasi. Keadaan laut sangat menyulitkan pelayaran dari pantai selatan pulau Rote ke Pulau Timor karena Selat Pukuafu yang memisahkan Pulau Timor dan Rote.

Setiap teluk dan pelabuhan yang terletak di pantai selatan Pulau Rote dalam keadaan yang paling baikpun, memakan waktu dua hari untuk berlayar dengan perahu. Tetapi bila berlayar dari Papela, sebuah pelabuhan kecil di Ringgou bisa langsung menyebrang ke Selat Pukuafu di Timor hanya satu hari perjalanan ke Kupang.

Kepadatan penduduk di nusak-nusak yang berada di Pulau Rote bagian Timur terus mengalami penurunan terutama pada pertengahan hingga akhir abad ke-19. Hal ini terjadi karena faktor geografis, dimana wilayah Rote bagian Timur yang lebih dekat ke Pulau Timor sangat memungkinkan terjadinya penempatan penduduk ke Pulau Timor.

Pada waktu penduduk dari Rote memasuki wilayah-wilayah di sekitar Kupang, daerah itu tidak berpenghuni, hanya ditumbuhi hutan dan semak belukar.

Hal ini terjadi karena sejak kedatangan Belanda, wilayah sekitar Benteng Kupang ini selalu menjadi lokasi peperangan antara Belanda dan Portugis yang bersekutu dengan sebagian Raja-raja Timor.

Penduduk yang awalnya mendiami daerah sekitar Teluk Kupang itu pun berangsur-angsur meninggalkan daerah ini untuk mencari wilayah yang lebih aman. Maka kegiatan pertama orang Rote setelah tiba di Kupang adalah membuka hutan untuk tempat tinggal serta berladang seperti wilayah Oesao yang tanahnya subur dan berada di dataran rendah yang luas sehingga sangat cocok untuk daerah pertanian.

Orang-orang Rote yang ditempatkan di Oesao sebagian besarnya bermata pencarian sebagai petani. Lahan persawahan yang pertama dibuka yaitu persawahan Naibonat.

“Karena pada waktu itu Oesao merupakan daerah yang tak berpenghuni maka orang-orang Rote yang pertama kali menghuni Oesao menjadi pemilik-pemilik tanah hingga sekarang,” ujarnya.

Menurutnya, salah satu tujuan penempatan orang-orang Rote yaitu sebagai tembok pertahanan karena Belanda berkedudukan di Kupang.

Bila ada serangan-serangan dari Raja-raja Timor yang bersekutu dengan Portugis dan berkedudukan di Amarasi maka mereka terlebih dahulu harus menghadapi orang-orang Rote yang berada di Oesao dan daerah-daerah sekitarnya sehingga Belanda aman di Kupang.

Demikianlah hingga saat ini pertumbuhan orang Rote di Kupang dan wilayah sekitarnya makin pesat dan menjadi tanda sejarah. (bev/o)